SOAL kopiah hitam, alias peci alias songkok, di kepala Wali kota Bandung, Ridwan Kamil, rupanya bikin sewot segelintir orang. Dengan kopiah dan kacamatanya, Emil dianggap begini begitu, belagu, sok tiru mantan presiden nan prokalmator. Syukurnya, Emil setia dengan satu perempuan selaku pendamping hidup; kalau saja ia punya istri lebih dari satu… ah masih disangka masih coba tiru Soekarnokah oleh cendekiawan yang meradang pada popularitas Emil sepekan terakhir ini?
Tudingan kosong tetap tong kosong, nyaring bunyinya tapi dianggap sepi publik. Tudingan kalangan yang sengit beralih ke pelaku yang kali pertama mengunggah ‘isu’ turis Jerman dengan pujiannya pada Emil. Sebuah drama di jalanan Bandung yang kemudian diparodikan sebagai ‘presiden tertukar’. Nah, kelompok yang gerah dengan atraksi cantik dan tepat sasaran di hati publik menemukan ruang terbuka. Tudingan hoaks segera menyebar, ditabuh sebuah laman berita Islam (bo)sok toleransi. Gara-garanya: ada kader Partai Keadilan Sejahtera.
Betul, kader-kader PKS bertepuk semangat gara-gara lakon ‘presiden tertukar’ ini. Tapi, langsung menuding si pembuat muasal cerita sebagai kader partai ini, ya begitulah. Ini semacam perulangan cerita lama: setiap ada fakta yang mengusik kalangan pendukung penguasa beserta gerombolan serakahnya, tudingan langsung mengarah ke partai tertentu. Salah benar tudingan sudah tidak lagi penting. Padahal, di jagat maya tidak hanya ada komentar polos turis Jerman. Ada juga beberapa kejadian lain dari orang-orang di luar yang saat disodori foto serupa menghasilkan lakon yang sama: presiden tertukar.
“Gara-gara” ada PKS, Emil seperti dianggap angin lalu. Perasaan ini mungkin bisa dilihat saat media arus utama di Ibu Kota, terutama yang dikenal mendukung penguasa Jakarta, memberitakan kiprah Emil. Emil sekadar kearifan lokal yang tidak perlu dibesar-besarkan. Senasib dengan pemimpin muda lainnya yang—lagi-lagi—tidak sepihak dengan penguasa negeri ini. Pujian memang ada, tapi sila bandingkan bila kiprah yang ala kadar diperbuat pemimpin sehaluan awak redaksi.
Padahal, Emil bukan kader PKS. Dia memang maju menjadi wali kota Bandung bersama PKS, yang kadernya menjadi wakilnya. Tapi, Emil resminya usungan Partai Gerindra. Setali senasib dikerjai media dan pendukung penguasa sekarang,membuat dua partai ini seperti banyak temukan kemiripan—kendati ideologi ataupun beberapa poin platform politiknya berseberangan. Tapi di sinilah “keadilan” yang diperlihatkan pendukung ilusi mental penguasa. Karena Emil adalah dukungan PKS, maka Emil bukan pihak yang harus dipuji. Setiap kebaikan yang diperbuat dianggap biasa dan wajar.
Emil dan PKS tentu saja tidak selalu sejalan sebenarnya. Tapi, gara-gara pembeci kopiah dan kacamatanya, juga kasus bersama pendukung penguasa, kimiawi Emil dan PKS menjadi alamiah untuk mengabaikan. perbedaan.
Alih-alih Emil, sebetulnya kalangan pencibir kopiah Emil akan lebih mulia mengkritisi idolanya di Istana Negara. Jangan sampai hanya karena tidak ada PKS, mereka bertindak santai. Atau, jangan-jangan agar semua orang yang selama ini dikenal kritis dan vokal pencibir penguasa terdahulu tapi kini bungkam, harus ada PKS lebih dulu di samping penguasa. Kalau saja Joko Widodo ditemani setia PKS, mungkin orang-orang yang mengaku intelek dan alim itu tidak lagi bisu. Jokowi akan dihujat habis. Bukan karena sosok ini acap bersilat dusta, melainkan karena ada PKS. Dendam pada PKS seolah membuat kalangan ini akan jadi “baik” tiba-tiba.
Masalahnya, mungkinkah mereka—pencela kopiah dan kacamata Emil ini—masih punya hati dan kejujuran?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !