Lagi-lagi acara Metro TV sangat tendensius dan problematis. Yang terbaru, saya menonton acara Metro Realitas, Senin malam (24/4/2017). Selama pilkada DKI 2017 Metro TV memang dikenal sebagai media yang cenderung partisan. Mendukung dengan telanjang pasangan Ahok-Djarot. Rupanya Metro TV belum juga bisa move on menerima fakta tergusurnya Ahok-Djarot yang kalah telak dengan pasangan Anies-Sandi. Sayangnya, cara dilakukan adalah menyodorkan narasi kotor berkedok “Tayangan Realitas”. Narasi yang dimunculkan masih saja menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam, alih-alih mengakui kekalahan karena ketidakberesan dan ketidakbecusan Ahok dalam mengelola Jakarta.
Narasi apa yang ditampilkan? Metro Realitas mulai menampilkan wajah Ahok setelah kalah telak. Di media, kita bisa menyaksikan wajah kusut dan layu Ahok. Tapi, rupanya Metro punya pandangan lain. Dinarasikan bagaimana tidak tampak kekecewaan di wajah Ahok. Kemudian, narasi berlanjut dengan menanyakan ke publik kenapa Ahok bisa kalah, padahal menurut survei trennya selalu naik.
Untuk memberikan argumen kenapa Ahok kalah, dipinjamlah “mulut” pengamat untuk memberikan pandangan-pandangan tendensiusnya. Siapa dia? Tak lain Yunarto Wijaya. Pengamat politik partisan yang sangat telanjang dan terang-terangan mendukung Ahok. Direktur Lembaga Survei Charta Politika. Lembaga survei ini banyak disorot negatif publik. Diantaranya oleh salah seorang peneliti dari Universitas Indonesia (UI), Fitri Hari.
Oleh peneliti tersebut, bahkan Charta Politika dinilai pantas diberikan kartu merah. Alasannya, kartu merah itu untuk dua kegagalan. Pertama kegagalan menggambarkan trend. Kedua, lembaga survei itu menggambarkan trend Ahok yang menaik, dan Anies yang menurun. Padahal kenyataannya, Anies justru menanjak tinggi melambung ke angka 57, 95 persen.
Sebagai lembaga survei gagal, alih-alih meminta maaf ke publik, Yunarto di Metro Realitas justru malah mencari kambing hitam. Dia mengatakan Ahok-Djarot kalah karena adanya sentimen primordial. Dan menuduh Anies menikmatinya. Belum lagi memfitnah ormas Islam menggoreng isu tersebut lebih besar. Tuduhan Yunarto ini tentu saja sangat tendensius, asumtif dan mengada-ada.
CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah di media (Republika, 22/2/17) mengungkapkan hasil survei-nya bahwa tidak semua pemilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta berdasarkan agama saja. Bahkan kata dia, hanya 18,5 persen warga Jakarta yang memilih berdasarkan agama. Menurutnya pemilih Anies-Sandi adalah pemilih yang rasional. Artinya, 78% pemilih nyoblos tak berdasarkan agama. Artinya juga, pendapat Yunarto itu serampangan dan tidak berdasar data yang kuat. Bahkan justru bisa dibalik, apakah pemilih Ahok-Djarot dikalangan Cina dan Non Islam tidak memilih karena faktor itu? Bukankah justru alasan primordial demikian menjadi bagian tak terpisahkan dari pendukung Ahok-Djarot?
Narasi kemudian berlanjut. Digambarkan bagaimana Ahok kemudian mengucapkan selamat atas kemenangan Anies-Sandi. Menariknya, kali ini Ahok membawa-bawa nama Tuhan. Dia mengatakan kekuasaan itu Tuhan yang mengambil. Dalam narasi ini, bagus juga sebenarnya. Akhirnya Ahok ingat Tuhan juga. Lalu, dia menemui Surya Paloh, mengiyakan nasehatnya untuk tidak ngomong sembarangan di depan publik sambil setuju pendapat Surya kalau jalan politiknya masih panjang.
Narasi Metro Realitas kembali melanjutkan dengan nada heran. Kenapa masyarakat tidak memilih Ahok-Djarot, padahal tingkat keberhasilan kinerja mencapai 70% sampai 80%. Lagi-lagi Yunarto memberikan pendapatnya. Menurutnya, semuanya itu karena faktor emosional, begitu juga karena banyaknya penolakan dan intimidasi. Dia juga mengatakan bahwa tim sukses tidak salah, semua itu terjadi karena isu agama yang dimunculkan. Sampai di sini, saya sebagai penonton Metro Realitas sudah mulai muak dengan pendapat-pendapat Yunarto yang memberikan pandangan sesat. Seolah publik bisa dibodohi dengan pernyataan-pernyataan konyol dan kelirunya.
Akhirnya, saya melihat bagaimana narasi sepihak memang sedang dibangun untuk mencitrakan Ahok sebagai sosok bak pahlawan tapi sedang mengalami kekalahan. Mereka lupa bahwa kenyataan di lapangan, intimidasi di TPS justru banyak dilakukan kubu Ahok-Djarot, bahkan politik sembako, sebagai strategi paling primitif sangat telanjang dilakukan kubu Ahok-Djarot, sayangnya tak sedikitpun fakta ini diungkap Metro TV.
Jelas, tampak sekali praktik narasi kotor sedang dilakukan Metro Realitas berkedok jurnalisme. Sayangnya, sekali lagi, narasi itu tak akan berguna dan berhasil sebab akal sehat publik terhadap literasi media saat ini sudah semakin menyala.
Masyarakat sudah semakin kritis terhadap media. Praktik-praktik kotor semacam ini sudah semestinya disudahi karena hanya akan dipandang sebagai lelucon berbau jurnalisme. Sebab tugas media mengungkap fakta, bukan mengarang cerita.
Palmerah, 25 April 2017
sumber: http://kanetindonesia.com/2017/04/25/membongkar-narasi-kotor-metro-tv-pasca-kekalahan-ahok/
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Media) [opinibangsa.id / pi]