Di negara kita, salah satu penyakit yg ditularkan untuk melemahkan mayoritas umat Islam adalah inferiority complex (fenomena psikologis bahwa dirinya lebih rendah daripada orang lain). Setidaknya, penyebarannya di bangsa kita dimulai dari zaman penjajahan asing pada masa sebelum kemerdekaan. Sementara di dunia, jauh sebelum itu, pada saat zaman Romawi dan Persia masih berdiri, penularan inferiority complex kepada umat Islam sudah dijalankan.
Terlebih di saat orientalis Belanda bernama Christian Snouck Hurgronje pulang dari penyamarannya sebagai seorang Muslim dari Tanah Suci Makkah Al Mukarramah ke tanah air. Hurgronje melakukan propaganda sedemikian rupa agar masyarakat pribumi terjangkit penyakit inferiority complex akut dan menular. Memandang bahwa sebagai seorang pribumi yg terjajah, dirinya lebih rendah dibandingkan dengan penjajah. Bertemu bule, minder. Bertemu kulit kuning, malu. Bertemu kulit hitam, takut.
Terlebih, propaganda inferiority complex ini ingin menjadikan umat Islam itu tidak lebih keren dibandingkan dengan mereka dengan dibungkus dalil dan pembenaran tawadhuk.
Mau tidak mau, propaganda ini berhasil. Bahkan dampaknya terasa hingga sekarang. Sebagian masyarakat, ketika berhadapan dengan orang asing menjadi kikuk, minder, merasa bahwa dirinya lebih rendah daripada mereka. Kondisi seperti ini juga merembet kepada bahwa segala sesuatu dari luar adalah keren.
Inferiority complex ini mesti dilawan. Disembuhkan. Sudah bukan zamannya lagi kita tunduk dan takluk. Kalah dan mengalah. Sudah saatnta kita merdeka (dalam artian sebenarnya) dari belenggu penjajah.
Salah satu upaya mendobrak belenggu inferiority complex adalah dengan memunculkan kekerenan (baca: kemuliaan) kita di hadapan mereka yg sengaja ingin mencabik-cabik harga diri kita.
Kesombongan yg menjadi senjata mereka, dilawan dengan kesombongan. Keduniawian yg menjadi alat merendahkan, kita lawan dengan keduniawian. Namun tetap, jagalah orientasinya. Kita sedang menjaga izzah, bukan kemudian tenggelam di dalamnya.
Itulah kenapa para Khalifah, Sultan, Raja-raja, Panglima, bahkan para da'i penyebar dakwah 'seakan-akan tampak hidup wah'. Jangan dulu mencap mereka bermegah-megah. Orientasinya berbeda. Mereka sedang menjaga izzah dirinya dan umat Islam. Mereka sedang menyikapi dan melawan keduniawian yg menjadi alat orang-orang munafik dan orang-orang kafir dengan sesuatu yg mereka banggakan, yakni keduniawian.
Syaikh Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) rahimahullah itu, jika mengajar mengenakan pakaian terbagusnya. Tampil keren sampai-sampai seorang Yahudi mempertanyakan perkara cinta dunia dan kezuhudannya.
Syaikh As Syahid Ahmad Yassin rahimahullah, tokoh perjuangan kemerdekaan Palestina yg lumpuh di hampir seluruh anggota badannya pernah di tanya kenapa beliau bergaya narsis dan keren pada saat difoto? Mengenakan jas terbaik, celana terbaik, sepatu terbaik dan mengangkat dan menyilangkan kaki tidak seperti ulama lainnya yg duduk tawadhuk.
Lalu Syaikh Ahmad Yassin pun menjawab, "Karena yg memotretku adalah sipir penjara Zionis Israel dan yg akan melihat fotoku nanti juga banyak di antaranya adalah mereka yg membenci Islam juga".
Rachid Nekkaz, miliarder dan muliarder asal Perancis yg berusia 38 tahun, dengan 'sombong'-nya ia membayar denda 2000 orang muslimah yg melanggar hukum akibat pelarangan pengenaan jilbab dan cadar. Ia umumkan ke seantero dunia. Pria ganteng, keren, kaya dan 'sombong' ini kemudian menggentarkan rezim pemerintahan Perancis.
Akibat dari kesombongan Nekkaz yg menghebohkan itu, aturan 'buka cadar atau denda 150 Euro' ini kemudian dicabut. Apakah terbayang jika Nekkaz melakukannya diam-diam, anonim, tidak narsis dan fenomena yg sering kali kita label dengan kata sombong itu?
Presiden Soekarno, kemana-mana tampil keren dan sombong. Tak pernah ia menundukkan dagu kepada orang asing. Ia kuasai bahasanya dengan baik. Ia kuasai budayanya agar bisa berdiplomasi dengan baik. Dan kita tahu sendiri pada masa pemerintahannya, Indonesia menjadi macan Asia yg ditakuti dunia.
Demikian juga dengan aksi pribadi atau sosial yg sengaja dinarsiskan oleh perorangan atau sebuah institusi organisasi, jangan tersinggung dulu. Karena sangat boleh jadi bukan sedang menyombongi kamu. Melainkan sedang menyombongi kaum yg lain.
Mayoritas kita karena inferiority complex tadi, melihat yg wah jadi goyah, minder, curiga dan berakhir dengan buruk sangka. Sementara, melihat yg berpenampilan lugu, berkomunikasi ala kadarnya malah simpati. Padahal penipu.
Kepada kita, jangan dulu tersinggung dengan saudara-saudaranya yg memunculkan kekerenannya, ulama yg berkendaraam kinclongnya, seakan-akan sombong dan hidup wah. Itu bukan untuk sesama kita. Itu adalah untuk mereka. Untuk melawan sebuah penyakit akut bernama inferiority complex yg sudah menjalar sejak lama. Ingat, hanya orang sombong yg akan tersinggung dengan kesombongan.
Sekali lagi, orientasi salah mereka terhadap dunia lah yg kita lawan dengan dunia juga. Karena dengan itulah hati mereka gentar.
Bukti paling dekat adalah bagaimana dengan paniknya mereka terhadap salah satu organisasi sosial dan kemasyarakatan Islam, organisasi politik bahkan hingga pribadi-pribadi yg tampil 'keren', cepat dan sigap saat ada bencana dan musibah. Mereka panik. Sehingga kemudian mereka munculkan narasi dan propaganda bahwa hal itu adalah hoax belaka.
Seandainya kebijaksanaan Sayyidina Abu Bakar ash Shiddiq tidak dinarsiskan, keberanian Sayyidina Umar bin Khatthab tidak dimunculkan, kedermawanan Utsman bin Affan tidak dimunculkan, kecerdasan Ali bin Abi Thalib tidak diramaikan dan kehebatan lainnya dari para sahabat Baginda Sayyidina Rasulullah Muhammad saw tidak diblow up, sangat mungkin para pembencinya tak akan gentar. Bahkan, sangat mungkin kita tak mengetahui betapa hebatnya para sahabat Baginda Nabi ini.
Ingat, zuhud itu bukan kuantitas materi. Zuhud adalah tentang kualitas hati.