(membayangkan prajurit muda ini menggendong komandannya yg terluka sejauh 3Km di medan perang)
👉 Jika ada yg bertanya prestasi Prabowo apa?
👉 Jika ada yg bertanya prestasi Prabowo apa?
By Agi Betha
Untuk mengetahui bagaimana Prabowo ketika muda, salah satu narasumber yang bisa digali kisahnya adalah Letnan Jendral (Purnawirawan) Yunus Yosfiah. Ia adalah atasan Prabowo ketika bertugas sebagai prajurit muda di Timor Timur. Menurut Yosfiah, dari 5 kali penugasan Prabowo ke Timtim, 3 kali diantaranya Prabowo berada di bawah komandonya.
Belum lama saya bertemu mantan Menteri Penerangan di era Pemerintahan Habibie tersebut dan ia menceritakan kenangannya di Timtim bersama prajurit Prabowo. Pada tahun 1975, Mayor Yunus Yosfiah adalah Komandan Resort Militer 164 Wiradharma, Dili, Timor Timur. Sebagai Komandan Korem yang mengomandoi ratusan hingga ribuan anak buah yang silih berganti, Letnan Dua Prabowo adalah sosok anak buah yang paling diingatnya.
Yunus bercerita, pada waktu pertama kali berada di daerah operasi, semua pasukan sudah bersiap berangkat lengkap dengan senjata dan ransel masing-masing. Tapi Yunus keheranan melihat Prabowo menggendong ransel yang lebih besar ketimbang ransel milik prajurit lain. Maka iapun memanggil Prabowo dan menegur:
"Wo, apa isi ransel kamu itu? Kok besar sekali?"
"Bang, saya bawa ini bahan bacaan bang," jawab Prabowo.
"Wo, apa isi ransel kamu itu? Kok besar sekali?"
"Bang, saya bawa ini bahan bacaan bang," jawab Prabowo.
Mendengar penjelasan itu, Yunus Yosfiah lalu berpikir, wajar jika seorang prajurit membawa buku atau majalah untuk bacaan di kala waktu senggang di daerah operasi. "Saya berpikir, bacaan Prabowo itu untuk hiburan mengisi waktu."
Tapi karena ia lihat ransel Prabowo begitu besar, maka Yosfiahpun penasaran ingin melihat buku apa yang dibawa prajuritnya. "Begitu saya lihat, ternyata ia bawa majalah ekonomi. Namanya The Economist, yang bahasa inggris itu. Saat itulah saya terenyuh, kok anak ini mau ke daerah operasi bawa majalah ekonomi. Bukan satu, tapi banyak."
Keheranan Yosfiah adalah wajar, karena The Economist yang berpusat di London adalah majalah serius langganan para ekonom dan pelaku bisnis papan atas. Majalah tersebut sangat populer di kalangan pemimpin dan para pengambil keputusan dunia, yang menjadikan berbagai ulasan dan artikelnya tentang ekonomi, sosial, dan politik global, sebagai acuan pemikiran mereka.
Meski Prabowo ketika itu masih menginjak 24 tahun, baru setahun lulus dari Akademi Militer, Yosfiah mengatakan dirinya memaklumi, "Mungkin karena bapaknya seorang ahli ekonomi," katanya. Maka Prabowo sehari-haripun terbiasa melahap bahan bacaan serius tersebut.
Berdasarkan kisah Yunus Yosfiah tersebut, dan jika kemudian kita terbang ke masa kini, maka menjadi pantas jika pada 27 November 2018 lalu, The Economist mendaulat Prabowo Subianto sebagai Pembicara Utama pada acara 'The World in 2019 Gala Dinner' di Singapura. Karena ternyata keduanya, Prabowo dan The Economist, adalah 'kawan lama'.
Undangan istimewa The Economist itu sempat menuai kontroversi dan pertanyaan di tanah air, mengapa mereka memutuskan mengundang Capres Prabowo dan bukan Capres Jokowi. Namun dalam kapasitasnsya sebagai media trendsetter, tentu para petinggi majalah bergengsi itu tidak sembarangan dalam mengambil keputusan memilih Prabowo. Pada catatan resmi Gerindra, Prabowo diundang dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan sebagai Calon Presiden RI. Artinya, selain sebagai politikus, ia juga dimintai pandangan strategisnya ketika terpilih sebagai Presiden Indonesia 2019-2024 nanti. Padahal kandidat presiden ada 2.
Keputusan The Economist kemudian dinilai sangat tepat oleh rakyat Indonesia. Media sosial riuh mengelu-elukannya. Karena Prabowo tidak memalukan ketika tampil di event kelas dunia itu. Ia berhasil menjadi wakil wajah Indonesia yang terdepan. Ia tampil tanpa teks, berbicara dalam bahasa inggris yang fluent, menjawab berbagai pertanyaan dengan tangkas, dan mampu memaparkan berbagai pandangan politik serta gagasan ekonominya secara jernih dan cerdas.
Prabowo sukses memukau para CEO global dan pemimpin perusahaan dunia. Sejumlah CEO yang hadir pada acara tahunan itu adalah pimpinan perusahaan multinasional seperti Citi, EFG International, Franklin Templeton Investments, Hyundai, hingga Pricewaterhouse Coopers.
Kembali kepada cerita Pak Yunus Yosfiah. Berbicara soal kesetiaan dan keberanian, mantan Pangdam II Sriwijaya dan Kasospol ABRI itu juga kagum kepada sosok Prabowo. Dikisahkan, pada sebuah penugasan Prabowo dan teman-temannya harus membersihkan sebuah wilayah yang rawan diduduki musuh. Tiba-tiba Yunus Yosfiah mendengar sayup-sayup rentetan tembakan dari kejauhan. Ia menyadari saat itu sekelompok anak buahnya tengah melakukan penyisiran, tapi ia tak bisa meneropong karena lokasi operasi ada di balik perbukitan Timtim yang terjal.
Yosfiah lalu melakukan pemanggilan lewat radio. Iapun terkejut karena yang menjawab adalah prajurit muda Prabowo, bukan pemimpinnya. Padahal ketika sedang berada di lapangan, otoritas komunikasi melalui radio berada di tangan komandan.
"Lho kok kamu yang jawab, Wo? Mana komandanmu?"
"Siap! Komandan tertembak. Tidak bisa menjawab."
"Lho kok kamu yang jawab, Wo? Mana komandanmu?"
"Siap! Komandan tertembak. Tidak bisa menjawab."
Selanjutnya Prabowo menjelaskan bahwa atasannya tertembak pahanya, kondisinya parah dan mengeluarkan banyak darah, sehingga radio diserahkan kepada Prabowo. Musuh ketika itu mengepung dan menembaki mereka. Yosfiah lalu memerintahkan Prabowo agar membawa komandannya kembali ke markas, bagaimanapun caranya.
Menyadari bahwa komandannya tidak bisa berjalan lagi dan berada dalam kondisi bahaya karena darah yang terus mengucur, maka Prabowo memutuskan untuk menggendongnya. "Mereka berhasil lolos dan Prabowo mengambil tanggung jawab menggendong sampai ke markas. Itu ada sekitar 3 kilometer dengan medan perbukitan yang keras. Syukurlah komandannya selamat dan lukanya bisa dioperasi," tutur Yunus Yosfiah.
Karena cerita masuk ke soal pertempuran dan tentang operasi akibat luka tembak, maka sayapun kepo. Saya memaksa diri menanyakan hal yang sangat sensitif, "Maaf pak, apakah betul Pak Prabowo juga pernah tertembak, maaf, di bagian alat vitalnya hingga parah dan harus dioperasi?"
Kontan Pak Yunus Yosfiah tertawa mendengar itu. Tapi hanya sejenak, karena ia lalu menjelaskan dengan tekanan intonasi tegas,
"Itu..! Saya heran darimana orang fitnah itu. Prabowo tidak pernah tertembak paha atau alat vitalnya. Nah, mungkin yang dimaksud komandan yang ditolongnya itu. Tapi orang yang tidak suka bilang itu Prabowo."
"Itu..! Saya heran darimana orang fitnah itu. Prabowo tidak pernah tertembak paha atau alat vitalnya. Nah, mungkin yang dimaksud komandan yang ditolongnya itu. Tapi orang yang tidak suka bilang itu Prabowo."
Mendengar penjelasan itu, saya masih penasaran dan ingin menegaskan, "Maaf pak, jadi Pak Prabowo masih 'normal' ya pak, tidak seperti cerita-cerita yang santer beredar itu?"
"Anda coba pikir. Pertempuran terbuka itu selesai sebelum tahun 80. Pak Prabowo menikah 83, lalu setahun kemudian punya anak. Setelah menikah ada dia tugas ke Timtim tapi tidak ada kejadian itu. Bagaimana istrinya mau dinikahi, bagaimana dia bisa punya anak, kalau tidak normal?"
"Anda coba pikir. Pertempuran terbuka itu selesai sebelum tahun 80. Pak Prabowo menikah 83, lalu setahun kemudian punya anak. Setelah menikah ada dia tugas ke Timtim tapi tidak ada kejadian itu. Bagaimana istrinya mau dinikahi, bagaimana dia bisa punya anak, kalau tidak normal?"
Terjawab sudah teka-teki selama ini. Betapa selama puluhan tahun fitnah keji dan narasi-narasi menjijikkan itu ditimpakan kepada seorang prajurit yang ditugaskan membela tanah air. Entah siapa yang memulai dan menyebarkan. Namun orang yang difitnah itu memilih diam, karena menjawab sebuah kebencian yang telah berkarat hanya akan melahirkan kebencian lain.
Pak Yunus lalu berkisah. Prabowo pernah tertembak kakinya, tapi di sekitar tungkai. Kondisinya cukup parah. Karena bagian itu sangat penting untuk berjalan dan menopang berat tubuh, maka operasi pemulihan harus dilakukan berkali-kali.
Ketika sampai ke cerita soal tungkai itu, saya lalu teringat penuturan salah satu sahabat dekat Prabowo. Ceritanya sama. Akibat tulang di bagian bawah tersebut pernah remuk, maka Pak Prabowo tidak bisa melipat kaki dengan baik. Ia tidak dapat duduk tahiyat dengan sempurna. Tasyahudnya dilakukan dengan menahan sakit. Semua orang yang pernah sholat berjamaah bersama Prabowo tahu itu.
Karena itulah Pak Prabowo menganggap orang lain pasti memiliki gerakan sholat yang lebih baik dari dirinya. Ia bisa saja memimpin pertempuran, karena itu bidang keahliannya. Tapi Prabowo membiarkan orang lain menjadi Imam Sholatnya, karena jikapun ia fasih berbahasa Arab, faseh bacaan doa sholatnya, tetap masih ada orang lain yang lebih sempurna gerakannya.
Allah Maha Melihat, Allah Maha Mencatat. Kesempurnaan ibadah itu tidak hanya dari bentuk, tidak bisa dilihat dari penampakan, tidak cuma dari gerakan. Tapi lebih kepada keikhlasan dan kesetiaan seorang hamba kepada Dia, bangsa dan tanah airnya.
END.
END.