By: Riana Dewie
Tiba-tiba saya teringat dengan berbagai pengalaman menulis saya selama ini. Walaupun saya memang suka menulis namun saya tidak bisa menelurkan tulisan setiap hari hanya karena sebuah alasan klasik, yaitu ‘sibuk’. Mungkin ini juga jadi alasan para pembaca lainnya dimana hobby nulisnya hanya ‘kadang-kadang’ atau tergantung mood saja.
Eitsss.. Jangan salah. Menulis itu sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, tanpa ada batasan waktu. Asal otak kita masih jernih untuk berpikir, disitulah tulisan dapat dibuat. Tapi pada kenyataannya, banyak diantara kita bahkan saya sendiri juga mengalami kesulitan dalam menulis. Ya, menulis memang gampang-gampang susah karena alur yang kita tulis tidak selamanya mengalir dengan baik. Ada kalanya kita terhambat akibat stress, capek, situasi yang kurang kondusif, susahnya cari topik tulisan atau berbagai penghambat lain yang secara tak langsung akan membunuh mood kita untuk menulis.
Kini kita harus menetapkan sebuah mindset bahwa ‘menulis itu mudah’. Jika Anda penulis sejati, tentu bagaimana pun keadaannya, Anda akan bertanggung jawab penuh kepada diri sendiri untuk menelurkan sebuah tulisan, bagaimanapun hasilnya. Namun bagi orang awam, menulis itu pekerjaan sulit karena mindset kita tentang dunia kepenulisan ternyata sering salah atau berlebihan.
Lalu, mindset seperti apa yang sering membuat kita malas atau bahkan gagal menulis?
.1. Belum ada ide ‘topik’ tulisan
Apakah topik harus selalu dicari? Belum tentu. Topik tulisan bisa datang kapan saja dan kita harus menyadari itu. Aktivitas apapun yang kita lakukan setiap detiknya bisa menjadi topik tulisan.
Sebagai contoh, saat perjalanan berangkat ke kantor, ada banyak perisitiwa/fenomena yang bisa kita jadikan topik utama, misalnya : kehabisan bensin di jalan, ban tiba-tiba bocor, fasilitas Traffic Light yang rusak di salah satu sudut jalan, Mampir ke toko kue untuk bekal di kantor, hampir menabrak orang gara-gara melamun di jalan dll.
Contoh lain, saat kita beraktivitas di kampus, ada banyak peristiwa yang dapat dijadikan topik utama, misalnya : Mahasiswa girang saat dosen tidak jadi mengajar, seorang teman diceburkan ke kolam di hari ultahnya, Parkiran motor penuh gara-gara berangkat ngampusnya telat, deg-degan saat mau pendadaran, kakak angkatan ngasih bunga sebagai tanda cinta dll.
Ternyata banyak kan topik yang dihasilkan? Ini hanya contoh kecilnya yang bisa dijadikan bukti betapa mudahnya mendapat topik tulisan yang akan kita buat. Jangan pernah berpikir bahwa topik tulisan harus berat, seperti bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dsb. Jika kita memang kurang menguasi topik di bidang itu, apa ya harus tetap dipaksakan? Oleh karenanya, dalam membuat tulisan, pilihlah topik yang ‘apa adanya’ kita, yang sesuai dengan kemampuan kita. Jangan pernah memaksakan untuk membuat tulisan berat namun hasilnya malah kurang bermanfaat. Buatlah tulisan yang dapat kita nikmati, baik dalam prosesnya maupun hasil akhirnya.
2.Tulisan harus Panjang
Jika kita menulis untuk mengikuti sebuah kompetisi dimana ada batas minimal panjang tulisan atau saat mengikuti ujian Bahasa Indonesia di sekolah dimana kita wajib mengarang bebas yang akan dinilai bagus dari panjangnya karakter tulisan, maka menulis dengan materi yang panjang mungkin memang diperlukan. Tapi, jika kita menulisnya bersifat non formal atau hanya untuk sekedar mengisi waktu, tulisan tidak selalu harus panjang.
Harus kita pahami bahwa ide tulisan terbentuk dari harmonisasi hati dan pikiran. Harmonisasi ini ibarat air sungai yang terus mengalir tanpa henti. Selama menulis, kita takkan mungkin bisa menghentikan pikiran secara tiba-tiba untuk memotong ide. Kita pun takkan bisa memaksakan pikiran untuk terus berlari menghasilkan ide sesuai ego kita. Oleh karenanya, saat kita menulis, idealnya kita bisa menumpahkan seluruh ide secara perlahan, mengembangkannya dengan baik serta memberikan bumbu yang ‘melezatkan’ materi sehingga tulisan kita akan lebih enak dibaca dan dipahami.
3.Bahasa harus Baku (sesuai EYD)
Dalam sebuah tulisan, bahasa yang digunakan sangat mempengaruhi kualitasnya. Untuk menulis skripsi, kita dituntut untuk membuat tulisan yang aktual dan sesuai dengan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) yang berlaku di negara kita. Atau pun saat membuat proposal untuk dimasukkan ke berbagai perusahaan, tulisan yang baku sangat diperlukan untuk menjaga formalitas program yang kita tawarkan.
Namun materi akan berbeda ketika kita menulis reportase tentang sebuah tempat wisata ataupun menulis artikel untuk tabloid/majalah remaja. Tentu bahasa yang digunakan tidak harus baku, namun dengan bahasa gaul sehari-hari/tidak resmi justru terbukti akan lebih menyentuh pembaca karena sesuai dengan psikologi/karakter usia mereka. Inilah yang harus kita pahami bahwa penempatan bahasa baku atau tidak baku dalam sebuah tulisan dipengaruhi oleh tujuan/untuk apa tulisan itu dibuat.
4.Tidak ada waktu luang (sibuk)
Apakah kita harus meluangkan waktu khusus untuk sekedar menulis? Bisa bayangkan banyak karyawan yang meluangkan waktu untuk menulis saat jam istirahat kantor di tengah kepadatan aktivitas mereka? Atau para ibu rumah tangga yang sibuk urus rumah dan rawat bayi setiap harinya namun masih bisa menelurkan tulisan bagus? Bahkan anak kuliahan yang sedang ribet mengerjakan skripsinya namun bisa curhat dalam bentuk tulisan dan diposting di blog pribadinya?
Inilah contoh yang dapat kita pelajari saat membahas ‘waktu’ untuk menulis. Kita harus menyadari bahwa kita lah yang harus pandai mengatur/membagi waktu, bukan waktu yang mengatur kehidupan kita. Sesibuk-sibuknya kita, jika kita memang memiliki niat kuat untuk menulis, kita pasti bisa menghasilkan tulisan itu setiap harinya. Apalagi jika topik tulisan bersifat ringan dan sesuai dengan pengalaman kita sehari-hari, tentu akan lebih mudah lagi. Jadi, jangan pernah salahkan waktu karena waktu tak pernah salah; yang salah adalah diri kita sendiri, mengapa tidak pandai mengatur waktu, khususnya meluangkan waktu untuk menulis. Hehehe..
Setelah memahami 4 hal diatas, apakah kita masih beralasan untuk tetap malas menulis? Jika memang masih ada alasan, saya bisa tebak bahwa alasannya adalah ‘kurang ada niat/motivasi untuk menulis’. Ini memang masalah krusial yang dihadapi oleh banyak orang. Namun niat ini bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.
Contoh kecil adalah saya sendiri. Saya mengaku bahwa saya memang malas menulis, seringkali menulis hanya pada saat moodnya baik. Saat awal mendaftar Kompasiana, niat saya hanya menulis iseng. Setelah itu selama 1,5 tahun benar-benar off tanpa tulisan baru. Selanjutnya, muncullah niat saya untuk menulis lagi di Kompasiana karena disini saya lihat sangat berpotensi untuk bisa mengembangkan diri lewat tulisan dan mendapat banyak teman dari sesama penulis sehingga akhirnya saya pun memberanikan diri untuk menulis lagi. Syukurlah, sekarang saya bisa cinta banget sama Kompasiana, walaupun tidak setiap hari bisa memposting tulisan baru.
Inilah sedikit ulasan dari saya untuk menghapus berbagai ‘mindset salah’ saat akan menulis. Menulis itu mudah. Menulis itu indah. Jadi, jangan pernah simpan ide kita hanya dalam angan-angan; tumpahkan dalam bentuk tulisan. Selain akan mengasah kemampuan kita dalam menulis, berkah juga akan kita dapatkan ketika informasi yang ada di tulisan kita bermanfaat bagi orang lain yang membacanya.
Semoga Bermanfaat
http://m.kompasiana.com/post/read/731211/1/4-mindset-salah-yang-bikin-kita-malas-menulis.html